-->

Pages

Sunday, January 19, 2014

Rumah Kopi Ranin

Marrying Mr. Coffeeholic gives me one consequence, is that I have to deal with coffee things. Unfortunately, I am not part of coffee lovers. :D Saya bukan penikmat kopi sejati. Passion saya adalah milk tea dan cokelat. Untungnya, di setiap warung kopi dimana Mr. Coffeeholic berhenti, selalu ada menu alternatif di antara dua kesukaan saya itu tadi. Lucky me. ;)

Kali ini, di Sabtu sore yang teduh paska hujan mengguyur Bogor seharian, saya mengikuti Mr. Coffeeholic untuk wisata kuliner kopi. Tujuannya adalah Rumah Kopi Ranin.

Lokasi Rumah Kopi Ranin ada di Jalan Ahmad Sobana (dikenal juga dengan Jalan Bangbarung Raya) No. 22 A, Bantarjati, Bogor. Untuk menuju lokasi ini, dari keluar tol Baranangsiang belok ke kanan masuk Jalan Pajajaran, kemudian di pertigaan Bangbarung (sebelum Rumah Sakit Azra) belok kanan masuk Jalan Ahmad Sobana. Posisi Rumah Kopi Ranin ada di kanan jalan, tidak terlalu jauh dari pertigaan Bangbarung.



Picture taken from here.


"Persis seperti secangkir kopi yang nikmat. Di dalamnya adalah senyawa jutaan keluarga tani yang telaten merawat pokok pohon kopi, lalu memanen dan memproses kopi dengan baik. Juga kuli angkut dari pegununangan. Belum lagi keorganisasian distribusi kopi hingga para roaster dan barista yang prigel." -Ranin

Bagi Rumah Kopi Ranin, kopi bukanlah hanya sekedar bubuk hitam yang diseduh air panas, bukan pula sekedar teman merokok atau sekedar untuk membuat mata tetap terjaga semalaman. Lebih dari itu, kopi adalah sebuah cerita, yang dimulai dari sejak awal asal-usulnya sebagai tanaman perkebunan hingga akhirnya terhidang di meja. Setiap prosesnya melibatkan orang-orang, momen, emosi dan ceritanya masing-masing. It is a matter of process.

Hal ini tercermin dari kata Ranin yang digunakan untuk menamai kedai kopi ini, yang merupakan kependekan dari "Rakyat Tani Indonesia". Owner Ranin adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Menurut Uji Sapitu, salah satu owner Ranin, pemberdayaan petani adalah syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebagai ujung tombak peningkatan kualitas produksi kopi di Indonesia. (Cikopi.com)

Berbeda dengan coffee shop yang banyak kita jumpai pada umumnya, di Ranin kita tidak akan menemukan espresso machine yang canggih, dengan harga puluhan juta dan listrik ribuan watt. Ranin dengan percaya diri memilih untuk menggunakan teknik seduh manual (manual brewing).  

"Bukan dengan mesin, karena kami yakin pada skill, knowledge, dan art masih menjadi kebutuhan zaman, bukan segalanya dari mesin yang selalu bisu dan kaku." -Ranin



Picture taken from here.


Di Ranin anda dapat memilih mulai dari tubruk (seduh dengan air panas), moka pot (teko bertekanan tinggi dimana air panas dididihkan hingga melewati bubuk kopi), french press (bubuk kopi ditekan dengan semacam alat saringan sehingga ampas kopi mengendap ke bawah), vietnam drip (air kopi dilewatkan melalui semacam saringan), dan seduh siphon (menggunakan alat yang terbuat dari dua bejana kaca yang masing-masing diisi kopi dan air panas).



Berbagai jenis alat manual brewing.


Selain berbagai teknik manual brewing, Ranin juga menyediakan berbagai jenis kopi : wamena papua, baraka toraja, bajawa flores, kintamani bali, pangalengan, mandheling, linthong, gayo aceh, luwak mandheling, sampai robusta toraja. Harganya berkisar dari dua puluh atau tiga puluhan ribu rupiah sampai yang termahal yaitu jenis kopi luwak yang mencapai seratusan ribu rupiah.

Kopi-kopi tersebut tidak hanya bisa dinikmati di dalam kedai, namun juga tersedia bubuk kopi yang bisa dikemas sesuai kebutuhan kita untuk dibawa pulang. Jangan lupa sampaikan kepada barista teknik apa yang akan anda gunakan untuk menyeduhnya di rumah, agar barista menyesuaikan tingkat kehalusan gilingan biji kopi.

Selain kopi, Ranin menyediakan pula cemilan pendamping yang nikmat dimakan bersama kopi, di antaranya kentang goreng dan tapai goreng.

Suasana Ranin sendiri cukup nyaman dengan desain minimalis yang rada-rada antik, ditunjukkan dengan beberapa properti vintage dan unik, seperti meja mesin jahit lama lengkap dengan kayuhan kaki yang digunakan sebagai coffee table. Di sudut ruangan ada rak yang berisi buku-buku bacaan seputar kopi, ekonomi dan pertanian rakyat.

Saya, seperti biasa, memesan cokelat panas sambil mendengarkan cerita Mr. Coffeeholic soal kopi. Pengunjung cukup ramai datang dan pergi, bahkan ada beberapa expatriat yang turut datang untuk ngopi di sini. Tanpa terasa dua jam lebih kami nongkrong di sini dan menikmati kopi, bahkan membawa pulang bubuk kopi untuk diseduh di rumah.



Mr. Coffeeholic memilih kopi Arabika Mandheling dengan Moka Pot, dan saya memesan cokelat panas dengan hiasan foam art yang manis di atasnya.


Rumah Kopi Ranin bukan hanya sekedar kedai kopi, tapi juga sebuah perwujudan dari filosofi dan prinsip yang diusung pemiliknya dalam mengantarkan kopi kepada para penikmatnya. Untuk anda yang ingin mencicipi berbagai kopi dengan teknik manual brewing, sekaligus melihat kopi sebagai sebuah cerita hidup, silakan bertandang ke Rumah Kopi Ranin ini. They will be delighted to have you there. ;)

"Sekali seduh kita bersaudara, karenanya Ranin adalah rumah pembebasan dari segala hegemoni modal dan kekuasaan. Di Ranin kita duduk sama rendah, menanggalkan segala predikat yang tidak menambah nikmat cita rasa kopi. Ngopi di Ranin adalah menikmati kopi sambil merajut kembali aspek kemanusiaan dan ekologi yang sering ditinggalkan." -Ranin 


Rumah Kopi Ranin
Buka jam 10 pagi - 10 malam setiap hari, kecuali hari besar keagamaan.
Alamat : Jalan Ahmad Sobana 22 A, Bantarjati, Bogor.
Twitter : @ranincoffee
Facebook : https://www.facebook.com/RaninCoffee
(Melalui akun facebook Ranin, anda dapat membaca berbagai cerita seputaran kopi yang menarik.)


Wednesday, January 15, 2014

Book Review : The Kitchen House

Akhirnya selesai juga buku pertama di tahun 2014. Butuh sekitar 9 hari untuk membacanya, hoho. Lama yaa.. :D Tapi untunglah selesai. Saya sendiri bahkan tadinya nggak yakin bisa menyelesaikan buku ini, karena udah lamaaa sekali nggak baca buku bahasa Inggris. Terakhir baca buku bahasa Inggris ya Eat, Pray, Love-nya Elizabeth Gilbert, jaman dahulu kala waktu masih lajang. Sementara sekarang udah punya buntut yang udah sekolah dan ceriwis pisan. Bertaun-taun yang lalu berarti yak.

Sebenernya nggak niat mengawali Reading Challenge taun ini dengan buku ini. Ceritanya, pas lagi pacaran jalan-jalan sama Mr. Coffeeholic ke Gramedia, bengonglah saya di depan rak buku impor. Tadinya maksudnya cuma lihat-lihat aja, eh tetiba Mr. Cofeeholic (yang mungkin kasihan melihat saya bengong) mencetuskan pertanyaan retorik, "Mau?"

Hah?? Nanya saya mau apa enggak?
Lah ya jelas mauu.. pakek nanya :D :D 
Tanpa banyak ba bi bu lagi dengan riang gembira pun saya langsung nyaut The Kitchen House, yang sudah membuat kepincut hati dari sejak pertama bengong di depan rak buku impor. 

Membaca halaman-halaman awal buku ini lumayan penuh perjuangan karena udah lama nggak baca novel bahasa Inggris, jadi perlu adjustment karena belum terbiasa. Setelah satu bab terlewati baru mulai terbiasa, mulai enak mengalir bacanya, dan seterusnya sampai selesai.

Ok, enough chit chat :D 
Sekarang mari kita mulai tujuan utama postingan ini, yaitu mereview buku The Kitchen House.



Judul : The Kitchen House
Pengarang : Kathleen Grissom
Bahasa : Inggris
Penerbit : Touchstone

Tebal : 365 halaman
Diterbitkan pertama kali : Februari 2010

Format : Paperback
Target : Dewasa

Genre : Historical fiction
Beli di : Gramedia








Sinopsis :
When a white servant girl violates the order of plantation society, she unleashes a tragedy that exposes the worst and best in the people she has come to call her family. Orphaned while onboard ship from Ireland, seven-year-old Lavinia arrives on the steps of a tobacco plantation where she is to live and work with the slaves of the kitchen house. Under the care of Belle, the master's illegitimate daughter, Lavinia becomes deeply bonded to her adopted family, though she is set apart from them by her white skin.

Eventually, Lavinia is accepted into the world of the big house, where the master is absent and the mistress battles opium addiction. Lavinia finds herself perilously straddling two very different worlds. When she is forced to make a choice, loyalties are brought into question, dangerous truths are laid bare, and lives are put at risk.


Review :

"Abinia," he said, pointing toward the chickens, "you look at those birds. Some of them be brown, some of them be white and black. Do you think when they little chicks, those mamas and papas care about that?"

Hal pertama yang membuat saya jatuh hati dan memilih buku ini adalah kavernya. Kenapa kavernya? Karena kavernya menggambarkan setting yang melatarbelakangi sepanjang jalan cerita The Kitchen House, yaitu Amerika pada akhir abad ke 18 dimana perbudakan masih merupakan hal yang lazim. Novel dengan setting yang khas seperti ini, apalagi melibatkan sejarah di masa lalu, sungguh merupakan my-cup-of-tea genre.

The Kitchen House mengisahkan tentang Lavinia, gadis kecil berusia 7 tahun yang menjadi yatim piatu dalam perjalanan berlayarnya dari Irlandia ke Amerika. Setelah kapal berlabuh di Amerika, kapten kapal membawa Lavinia pulang ke rumah besarnya di sebuah perkebunan tembakau di Virginia, dan menempatkan Lavinia sebagai pembantu di rumah dapur (the kitchen house). The kitchen house yang digunakan para budak untuk memasak makanan bagi penghuni rumah besar berada di bawah pengawasan seorang gadis berdarah campuran negro dan kulit putih bernama Belle. Belle sebenarnya adalah anak yang tidak diakui hasil hubungan antara kapten dengan salah satu budak negro wanitanya. Cerita The Kitchen House dituturkan dari sudut pandang dua orang tokoh utama yaitu Lavinia dan Belle. 

The Kitchen House menceritakan kehidupan sehari-hari Lavinia, Belle dan para tokoh lainnya. Lavinia, gadis berkulit putih tersebut, kemudian tumbuh besar bersama keluarga barunya, para negro kulit hitam budak Kapten pemilik rumah besar. Lavinia mencintai keluarga negronya, namun status mereka sebagai budak kulit hitam telah menorehkan garis pembatas dengan dirinya yang berkulit putih. Novel ini mengungkap sisi gelap perbudakan, perbedaan harga seorang manusia hanya karena warna kulitnya, sekaligus juga mengungkap sisi humanis melalui cinta yang tulus dalam keluarga.

Sebagaimana dikatakan Lavinia :

"...but the day I was awakened to a new realization and made aware of a line drawn in black and white."

Selain setting yang kuat dalam penggambaran lokasi, kostum, kebiasaan maupun makanan yang berasal dari kitchen house yang merupakan keseharian pada masa itu, setting yang kuat dan menarik dibangun pula dari bahasa yang digunakan para budak negro. Jika diperhatikan, gaya bahasa budak negro ini berbeda dengan bahasa yang digunakan Lavinia. Bahasa negro menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang tidak menggunakan grammar dengan seksama.  Iyalah, namanya juga budak. Mana ada sekolah bahasa untuk budak. Kemampuan membaca dan menulis saja merupakan barang mewah bagi mereka. :D

Contohnya pada dialog Mama Mae, budak negro yang bijak dan turut membesarkan Lavinia bersama Belle :
"this I know. What the color is, who the daddy be, who the mama is don't mean nothin'. We a family, carin' for each other. Family make us strong in times of trouble. We all stick together, help each other out. That the real meanin' of family. When you grow up, you take that family feelin' with you."

Tokoh antagonis dalam cerita ini adalah Marshall, anak lelaki kapten, pewaris tunggal perkebunan tembakau Tall Oaks yang temperamen dan alkoholik. Marshall menganggap para budaknya tidak lebih berarti dari kuda-kudanya. Ia melakukan hal-hal keji dan sewenang-wenang, yang menjadi awal konflik di Tall Oaks hingga berlarut-larut dan mencapai puncaknya dengan kematian orang yang sangat dicintai dan dihormati Lavinia.

Plot The Kitchen House berjalan lambat. Bagi yang suka cerita dengan plot cepat dan dinamis, cara bertutur The Kitchen House mungkin bisa jadi membosankan. Pada separuh jalan cerita pertama, konflik masih cenderung datar tidak meruncing, setiap konflik yang muncul tak lama kemudian  selalu memiliki jalan keluar. Baru pada separuh cerita terakhir konflik mencapai klimaksnya. Tapi bagi saya ini adalah keuntungan, karena di awal cerita kita bisa menikmati dan membayangkan kehidupan di Virginia pada masa akhir abad 17 tanpa perlu ngelap keringat karena bombardir masalah yang bertubi-tubi. Di separuh awal novel saya rasanya seperti berjalan-jalan di masa kehidupan Little Missy (yang angkatan 90-an mungkin tahu serial Little Missy, telenovela klasik yang tayang di TVRI setiap hari Minggu. Little Missy juga berlatar belakang masa-masa perbudakan.)



Salah satu adegan dalam Little Missy. Picture taken from here.


Yah, kurang lebih saya membayangkannya seperti di atas lah. :D

Tokoh favorit saya adalah Mama Mae tentunya, karena bijak sekali, so wise lah pokoknya, cekatan, dan sepertinya apa-apa bisa. :D Ia yang mendidik dan membesarkan hampir semua tokoh dalam The Kitchen House dan mengajarkan mereka berbagai hal. Saya membayangkan Mama Mae seperti Whoppie Goldberg. :D

Tuu...pantes kan? Picture taken from here.

Kalau tokoh yang kurang saya sukai, malah pemeran utamanya sendiri, Lavinia. Duh mbak Lavinia, jadi cewek kok ya lemah dan rapuh amat. Bukan salah Lavinia sepenuhnya sih, mungkin karena merasa tidak punya siapa-siapa, maka Lavinia tumbuh besar dengan merasa bahwa bila ia ingin diterima maka ia harus selalu berusaha menyenangkan orang lain, kadang tanpa mempertimbangkan perasaan sendiri. Tapi bagi saya rasanya Lavinia ini nggak-saya-banget. Setiap orang punya hak untuk berjuang, mengungkapkan pendapat dan berbahagia. Pasrah nrimo tanpa berbuat apa-apa padahal di dalam hati sangat tertekan sampai depresi, bukannya malah menyiksa diri sendiri? Rugi amat ya. Lho, kok malah jadi saya yang emosi.. :D :D :D

Secara keseluruhan saya menikmati buku ini. Kalau ada beberapa kritik ya pada beberapa scene yang plotnya rasanya lambat, walaupun ini termasuk wajar karena novel ini mengisahkan kehidupan keseharian seorang gadis sampai dia dewasa, and Kathleen Grissom do pay attention to the details.

Di Goodreads sendiri rating buku ini cukup bagus, yaitu 4.14. Saya sendiri memberikan rating 4 bintang untuk buku ini. Karena walaupun tokoh utamanya tidak terlalu saya sukai, tapi genre novel ini adalah genre saya sekaliii...jadi membacanya pun mengalir menyenangkan. :D

Dengan selesainya novel The Kitchen House ini, saya jadi pede untuk membaca buku bahasa Inggris lagi. Dan moga-moga kali ini ada lagi yang menawarkan diri dengan sukarela untuk menjadi donaturnya. *lirik Mr. Coffeeholic*

Friday, January 10, 2014

Morning Blast

Pagi-pagi itu ya, adalah waktu yang krusial banget buat saya. Soalnya kalau pagi udah berantakan, seharian ke belakang bakal berantakan terus moodnya. Trus, sifat jelek nih, kalau berantakan pasti jadi bete, dan kalau bete ujung-ujungnya uring-uringan. Tetangga kanan kiri jadi ikutan kena batunya.

Kaya pagi ini, baru nyampe udah ada angin topan. :D Haha, lebay si. Biasanya, my usual routinity to begin the work day are : minum teh anget, browsingan dikit, ngeblog kadang-kadang kalo lagi mood, biar ngeblend dulu sama meja kursi dan PC. Soalnya kan di rumah ngeblend-nya ama kasur dan kompor, perlu tombol switch on-off buat pindah-pindah peran. :D

Naah pagi ini boro-boro, dari pertama dateng udah wusssshhhhhhh... dihempas angin topan, yang isinya rikues kerjaan. Hohoho, ga tanggung-tanggung, saking tenggatnya mepet dan yang diminta macem-macem, akhirnya jadi pada spaneng bin tegang, termasuk saya. (-____-")

Padahal sifat jeleknya ya itu tadi, tiap kali spaneng diuber deadline, ujungnya uring-uringan mulu. Tetangga kanan kiri jadi ikutan kena. Lah orang diuring-uringin, kan bete juga, akhirnya ikut uring-uringan juga. Satanic cycle.

Untung, masih dikasi temen-temen yang baik hati lagi tidak sombong dan tidak pelit dan pengertian (muji-muji, soalnya ada maunya wahaha), dan mendadak Allah SWT menyadarkan dari sifat buruk saya itu. Alhamdulillah segera disadarkan, sebelum bener-bener jadi hipertensi karena naik darah melulu. Jangan dong ya, pinginnya selalu sehat semua, Aamiin..

Kata temen, "Emang udah kerjaan lu, nangis aja dulu ampek puas, trus abis itu kerjain." Iya sih, dipikir-pikir, bener juga. Dan kata temen yang lain juga, "Ngapain pusing-pusing dipikirin? Santai aja lah, tar kalo lu sakit, hipertensi, ampe mati sapa juga yang rugi, elu kan? Yang penting dikerjain." Nah, yang belakangan ini bener juga, tapi karena bawa-bawa urusan idup mati, ujung-ujungnya saya pengen nimpuk juga. Diedit dikit napa kalimatnya.


Picture taken from here


Semua saran di atas masuk dan meresap di kepala. Bener juga si, cuman kok ya itu, ujung-ujungnya tetep dikerjain. Gak bisa ya ujung-ujungnya ditinggal ngacir? Wahahahaa.. *dipentung bos*

Emang bawaan manusia itu ya, nggak ada puasnya. Kompleeen melulu sepanjang masa. Sering lupa kita, kalau itu udah jadi tanggung jawab, ya mau ga mau gimana lagi salah sendiri kerja di situ, kudu dikerjain kan? Pelan-pelan, yang penting berproses, diusahakan. Semampunya. Kalau ga mampu, ya udah. Wahahaaaa... *dipentung bos lagi*

Dan yang pasti ga pake uring-uringan. Daripada dipake muring-muring mending dipake buat browsingan nyicil kerjaan, ya gak? Uring-uringan cuma bikin kita dan orang lain susah. Gimana orang mau bantu kita kalau kerjaan kita cuma nyusahin orang lain. (make note to myself)

Makasih ya temans udah ngingetin dan udah ngertiin walaupun ikutan nyolot juga :D Guys, you are all awesome. Kapan-kapan gw beliin jus ye, tapi segelas aje buat rame-rame. :D

Sooo...untuk ngademin ati karena deadline nyebelin yang merembet kemana-mana itu, mari kita beli teh susu! Woah, serius, saya punya relasi tertentu dengan jenis minuman ini karena efeknya yang bisa menjadi mood booster. It is a drink from heaven, I think. :D (lebay lagi, ihik)

Ah, jadi terpikir, kapan-kapan mau nulis khusus soal teh susu ini deh.

Well, that's just an unimportant story happened this morning. Anyway, it ends happily. ;)

Wednesday, January 8, 2014

A Day When You Leave Your Soulmate Behind

Ini judulnya kaya apaan aja yak?

Hahaha, enggak segitunya kok. Sebenernya postingan ini saya tulis karena dua hal :

1. Karena datang kepagian ke kantor jadi pemanasan dulu sebelum kerja. Pemanasannya ya begini, by blogging and blogwalking. Jadi ketahuan yak, kalau lagi rajin bikin postingan pagi, berarti karena kepagian ampe kantor. :D

2. Karena HP tercinta hari ini ketinggalan di rumaaaah.... :'( :'( :'(

Serius. Sepanjang jalan dari rumah ke kantor tadi mati gaya total. HP ketinggalan di rumah, sementara Tab ketinggalan di kantor, dan akhirnya dibawa temen yang kemarin pulang lebih belakangan dari saya (daripada ditinggal semalem di kantor tar takutnya ilang). Padahal tau kan ya, perjalanan Bogor-Jakarta di waktu orang berangkat kerja itu bisa bikin tua di jalan. Eh, udah gitu, si temen yang bawa Tab malah kelupaan Tab-nya ditinggal di rumah dia, ngga kebawa. Lengkap deh derita. No phone for today. Kecuali telepon kantor sih, kalau itu diitung telepon juga :D

But every cloud has a silver lining, alias selalu ada hikmah di setiap kejadian, di kejadian ini hikmahnya adalah jadi punya tema buat nyampah nulis di sini (maksa ye? :D)

Dipikir-pikir, jaman dahulu kala kan kita gak punya HP ya, bisa-bisa aja tuh hidup dengan tenang dan damai. Tapi kenapa sekarang kalau nggak berdekatan sama HP feelingnya nggak save gitu yah? Ada sesuatu yang hilang, yang efeknya membuat kita jadi gelisah, bete dan uring-uringan. Tanda-tanda kecanduan mungkin yaa... Hayo siapa coba sekarang yang keluar rumah (untuk jarak jauh dan makan waktu lama) dan nggak bawa HP (bukan disengaja ya, misalnya ketinggalan) trus nggak merasa gelisah? Mendingan lupa bawa duit daripada lupa bawa HP kali ya :D.

Daripada dibilang kecanduan, mungkin lebih tepatnya dibilang kebutuhan utama. Keberadaan gadget berupa telepon sekarang sudah menjadi bagian dari kebutuhan primer. Apalagi untuk emak-emak semacam saya ini, yang kalau lagi di luar rumah hawanya kepingin nelepon rumah melulu nanyain anak, gak bawa HP jelas mati kutu.

Tapi emang sih, selain sekadar telepon dan sms, fungsi puenting lainnya itu ya, buat narsis bersosialisasi. Misal kaya di perjalanan atau lagi nongkrong di mana gitu, rasanya gatel aja pingin buka HP, entah browsingan, update status atau cek sosial media yang ada beberapa biji itu :D Hidup terasa lebih berwarna yak? Kalo gak bawa kaya tadi, yah berasa kaya orang-orangan sawah, berdiri aja bengong nggak ngapa-ngapain. Untung masih diselamatkan buku, jadi paling tidak nggak totally mati gaya, di beberapa posisi masih selamat lah. Cuma buku kan nggak se-handy HP ya, misalnya kaya lagi berdiri di pinggir jalan nungguin angkot, kalau pegang buku (apalagi yang sekarang lagi dibaca, termasuk tebell) kayanya gimana banget gitu ya (walaupun ini perasaan saya sendiri sajah yang memang kurang pedean :D, kalau orang lain yang begitu bisa jadi gak aneh dan tetap terlihat manis :D), lebih ringkes kalau pegang HP aja gitu rasanya. Walaupun menurut bapak-bapak tukang ojek depan kantor hal semacam ini nggak direkomendasiin juga, "Nanti disaut orang lho Bu HP-nya, sekarang lagi banyak jambret naik motor.". Nah lo.

Balik lagi ke soal HP ketinggalan. Terkait urusan kantor, ini juga jadi membawa sedikit masalah. Periode awal tahun begini, waktunya penyusunan laporan tahunan, HP biasanya krang kring krang kring ditilpunin orang, belom sms nya, belom WA nya. Yah....mohon maaf sodara-sodara sebangsa dan setanah air, soalnya soulmate saya emang hari ini lagi nggak masuk kantor tanpa ijin.

Mr. Coffeholic dengan ringannya bahkan bilang begini, "Nggak yakin deh Bunda bisa bertahan seharian ini ga pegang HP tanpa bete dan uring-uringan."

Sejauh ini sih, bisa tuh kayanya :D. Belum bete dan uring-uringan. Soalnya di kantor ada PC, koneksi internet. Jadi ngegalaunya bisa dipindahin dari HP ke PC (teteup ya). Buat nelepon, ada telepon kantor. Yah, palingan bete nya pas berangkat tadi karena mati gaya, dan mungkin saat pulang nanti.

Mari berdoa, semoga jalanan sore nanti tidak terlalu macet dan lekas sampai di rumah. Sehingga episode mati gaya saya nggak lama-lama amat. Karena bete yang kelamaan bisa berujung jadi uring-uringan. Jangan dong yaaaa......



Tuesday, January 7, 2014

New Authors Reading Challenge 2014 [Master Post]

Terkait postingan yang kemarin, yang lagi-lagi dalam rangka meningkatkan kuantitas (dan kualitas haha) bacaan saya, akhirnya bergabung juga dengan salah satu Reading Challenge. Reading Challenge (RC) adalah suatu event yang bertujuan memberikan tantangan kepada para pesertanya untuk memenuhi syarat membaca sejumlah buku sesuai tema RC tersebut.

Hasil dari kemarin browsang-browsing gegara terjebak macet Senin pagi yang cetar membahana itu (pas hari pertama anak masuk sekolah setelah libur panjang), nyasarlah saya ke situsnya Ren atau yang lebih dikenal dengan Ren's Little Corner. Wah, ini si empunya situs bener-bener ahli baca kelas kakap. Goodreads 2014 Reading Challenge-nya aja 100 buku, bandingkan dengan saya yang cuma 12 buku. :D

Nah, kebetulan Ren menjadi host dari event New Authors Reading Challenge 2014. Sebagaimana namanya, RC ini bertujuan untuk membaca buku-buku karya pengarang yang belum pernah kita baca. Jadi untuk kita, pengarang itu terbilang baru, karena baru ini kita membaca karyanya. Misalnya, kita belum pernah baca bukunya Dewi Lestari sama sekali, maka bukunya bisa kita deretkan dalam list RC ini. Tapi hanya satu buku saja, karena kalau buku kedua, namanya bukan pengarang yang belum pernah kita baca, kan udah baca buku pertamanya. :D
Ada empat level dalam RC ini :
Easy : 1 - 15 buku
Middle : 15 - 30 buku
Hard : 30 - 50 buku
Maniac : > 50 buku

Seperti biasa, nggak muluk-muluk, saya ambil level Easy aja. Namanya juga pemula :D

Ada beberapa persyaratan dalam RC ini, di antaranya :

1. Durasi RC ini adalah setahun mulai 1 Januari 2014 - 31 Desember 2014.

2. Harus buku fiksi dengan jumlah halaman minimal 200 halaman. Ini menguntungkan saya, karena saya memang sukanya buku fiksi. Kurang tertarik pada buku-buku nonfiksi :D

3. Harus karya pengarang baru (dalam artian baru bagi kita karena belum pernah baca bukunya), satu pengarang satu buku, juga tidak boleh re-read.

4. Boleh digabung dengan RC lain. Nah, ini keuntungan karena bisa digabung dengan RC-nya Goodreads ini. (Ketahuan orang males :D)

Persyaratan dan penjelasan lebih rinci bisa langsung cek di website nya Ren.

Jadi akhirnya saya pasang juga banner New Authors Reading Challenge 2014, dan mari sumangat RC-nya Kakaaa..........

Monday, January 6, 2014

Goodreads 2014 Reading Challenge

Ah... Akhirnya saya bergabung juga dengan Goodreads 2014 Reading Challenge. Ini sebenarnya dalam upaya memperbaiki tingkat kuantitas bacaan saya. Kenapa kuantitas? Kalau minat baca sih, melimpah ruah, karena pada dasarnya sukaaaa baca.

Cuma ya itu, kadang tinggal sebatas wacana saja, ujung-ujungnya minat itu tenggelam oleh kesibukan ngurus anak, kecapean di perjalanan Jakarta-Bogor PP saban hari jadi alih-alih baca di KRL, malah tidur sepanjang perjalanan :D, belom kalau di rumah yang dipegang malah jarum sama benang, hahaha.... Intinya kebanyakan alasan, sehingga akhirnya, gak jadi-jadi juga buat baca.

Padahal dulu waktu masih muda (masih lajang dan nebeng orang tua, maksudnya :D), tempat main favorit saya salah satunya ya rentalan buku (berhubung kantong masih cekak). Saya beruntung karena di kota tempat saya dibesarkan, bisnis rental buku cukup menjamur dan mudah ditemukan. Bahkan ada rental buku yang isinya buku-buku bagus dan berkualitas loh. Saya membaca Raumanen, salah satu buku paling berkesan yang pernah saya baca, ya hasil dari nge-rental di situ. :D

Dulu, karena belum banyak ang ing ung eng ong, kerjanya cuman sekolah-makan-tidur doang sama disuruh-suruh Ibu :D jadi reading speed saya lumayan lah, misalnya untuk buku komik jepang-jepangan gitu (manga), semalem bisa 10 buku. Sampai diancam sama Ibu, buku-bukunya bakal disita kalau saya nggak kunjung tidur. Kalau untuk novel, tergantung ceritanya. Kalau gak gitu suka bisa cepat, karena pingin cepat selesai dan ganti bacaan :D. Tapi kalau suka, malah justru lebih pelan bacanya, kayanya pingin meresapi setiap kalimat.

Nah, berhubung hidup saya sekarang sok banyak acara dan sok ribet, yang ujung-ujungnya jadi kesempatan (dan kemauan) membaca buku anjlok drastis, akibatnya reading speed pun ikut ndlosor. Untuk And The Mountains Echoed kemarin saja, dua minggu baru kelar deh kayanya. (-___-")

Jadi dengan niatan ingin memperbaiki tingkat baca, saya bergabung di Goodreads 2014 Reading Challenge. Gak muluk-muluk dulu, wong mulai dari awal lagi, jadi set target 12 buku aja untuk tahun 2014, artinya satu bulan satu buku. Itu juga rada ragu2, takut kumat-kumatan, haha.... Anyway, at least I'm trying ;p. Tuh, Goodreads widget-nya bahkan udah ditaroh di sidebar, jadi udah diumumkan kepada khalayak :D

Dan semoga setiap selesai buku yang dibaca, berakhir juga dengan menulis review-nya. Paling males ya bok kalo urusan nulis review ini, karena harus berbasis mood. Harus suam-suam kuku dari selesai bacanya, jadi feeling-nya masih dapet. Kalau kelamaan, kadang suka ilfil dan bingung mau gimana nge-review-nya. Padahal yang namanya ngupdate blog juga angot-angotan :D Yah, mungkin ini juga menjadi suatu pertanda bagi saya untuk lebih rajin juga mengisi halaman di sini dan menyingkirkan potensi angot jauh-jauh.

So, let's start with the first book.

Sumangat, kakaaaaaa......


Saturday, January 4, 2014

Gott Nytt År!

is the way Swedish say, "Happy New Year!"

It's been quite a year, and so much things happen. And the new year is coming, bringing more things into life. As I didn't spend specific attention to set last year resolution, so I can't review it when 2013 ended yesterday. Learn from that, I think it's good to set my resolution in the beginning of the year, so I can see how far I can go when the year ends. Besides, it's easy to forget what I plan at first, and writing it down may keep me stay on the right track.

Here are my resolutions for 2014 ( well, fingers crossed :p ) :

1. Be a better wife for Mr. Coffeeholic, and a better mom for my little girl. It means being more patient, spending more quality time, and enjoy more moments with my two precious. It might include cooking for Mr. Coffeeholic or taking my little girl on a vacation, in weekend.

2. Be more green. Related to that "green things" I think it's time to make my meal habits a little bit greener. Don't count my little girl in this case, she has ideal portion and varian of homemade menus. We are talking about me, this lazy and lack of nutrition mommy -___- who lay her daily veggies intake on a capsule of herbal supplement.  Being greener in menu for me is trying to put at least one portion of real vegetable or fruit in my meals in a day. Let's start with making fruit juice as a habit, because it's the easiest way for me to swallow that kind of healthy food, based on my experience.

3. Read more books. I love reading, really. This is my hobby since I was an elementary school student. But when you have your own family to take care and your office related work to manage, it looks like you're getting lack of time to read. Or even if you have time, you choose to do something else which you think more important. My reading speed has decreased because I am rarely have a book in my hand to read. This year I'll try to read more books, I already bought some and they're now silently and patiently queueing to be read.

4. Write more things, story, article, blog post. On 2013 I joined a very supportive mom bloggers group, Kumpulan Emak Blogger (KEB). It's a great group consists of smart and active Indonesian women. They are inspiring and adorable, and they're blogging because it's their passion. Joined them is right choice since they are encouraging me to write more blog post. I even joined their competition, 30daysblogchallenge, where I must make 4 week-posting related to each week theme. I didn't win it, of course ;p, but it's really a challenging experience and I really enjoyed it. The competition is over now, but I sometimes miss the feeling, both exciting and thrilling, especially when it came to deadline.

Last year I alse sent two articles to Mommies Daily and they published it.


1st article published on Mommies Daily


2nd article published on Mommies Daily

In 2014 I hope I'll be able to do more updates on my blog, write more articles, and maybe I could extend the length of my fiction story (this is multi years project since I'm never be able to finish it. ;p)

5. Doing more craft. I've been a little bit more crafty lately. I do crochet and cross stitch. I do knit when I was college student. And now, my new sewing machine is calling me to do more things with fabric. I'm still a very beginner in sewing, but really enjoying it. I've made some simple project : box bag for Mr. Coffeeholic and express hat for my little girl.


This is my new crafty friend, Singer Simple Series.


White box bag, I follow the tutorial by Truly Myrtle. She wrote such an amazing tutorial, thank you!


Second attempt using green flowery fabric, much neater. I use it to keep my cable plug.


This is the express hat, my little girl asked me to make it.


She loves it, doesn't she?


Sewing is immensely enjoyable. I plan to do more sewing this year. I want to make more box bag because Mr. Coffeeholic want it too, he even choose his own fabric. I also want to make my little girl a peasant dress, Jamie wrote a tutorial of it in her site Scattered Thought of a Crafty Mom.  And for me myself, I want to sew something too! I fall in love for this Mathilde blouse and the blog and the owner (Tilly), she's so talented girl.


It seems so cute, doesn't it?


Well, with so much plan and exciting things waiting this year, I wish everybody a very Happy New Year and a great time ahead! Gott Nytt År!